Pakai Baju Itu-Itu Saja Bukan Dosa, Kok!

Ilustrasi Fashion (Pexels/Sid Maia)

Masa sekolah menengah adalah masa yang cukup menyulitkan bagi saya, dan juga mungkin banyak remaja di luaran sana.

Seperti saat seorang teman yang baru pindah dari kabupaten seberang, yang merasa terkucilkan karena semua kelompok pertemanan di kelas kami tidak mau berteman dengannya. Alasannya tidak logis, dia tidak modis.

Lalu teman lainnya, yang juga sama-sama anak pindahan―bedanya yang ini pindahan dari provinsi di sebelah barat―juga mengeluh kesepian karena tidak memiliki teman.

Alasannya mirip-mirip, dia tidak secantik siswi lain yang berteman dalam kelompok-kelompok di kelas kami. Gaya dandanannya juga diejek kampungan.

Kemudian, anak pindahan terakhir di kelas kami, yang berasal dari pulau sebelah timur, juga kesulitan bersosialisasi hingga tidak memiliki teman.

Waktu itu saya sempat bertanya-tanya, mengapa di kelas saya ada banyak sekali anak pindahan?

Namun menurut penuturan guru, ini karena hanya kelas saya yang jumlah siswanya tidak sebanyak kelas lain. Sehingga di tahun ajaran baru kala itu, kami mendapat 3 teman baru, di hari yang berbeda.

Sebenarnya, tidak masalah jika kami kedatangan teman baru. Namun, sifat teman-teman di kelas saya yang cenderung berteman berdasarkan kelompok-kelompok membuat beberapa orang mengalami kesulitan. Saya sebagai murid lama pun merasakannya.

Saya tidak sepintar teman-teman di kelompok A sehingga tidak bisa bergabung dalam lingkungan mereka. Pun tidak secantik teman-teman di kelompok C jadi saya tidak bisa ada di lingkaran pertemanan mereka.

Apalagi kaya, jelas kata sifat yang satu ini sama sekali tidak melekat di diri saya, dan juga di ketiga teman baru saya itu. Sehingga kami jelas tidak bisa berada di kelompok pertemanan yang ketiga ini.

Tidak ingin terlalu baper, akhirnya saya mengajak mereka untuk berteman dan membicarakan hal seru. Seperti KPop, misalnya. Awalnya, saya tidak menyangka kalau mereka juga menggemari musik asal negeri ginseng ini.

Pasalnya, bagi temen-temen di kelas kami, KPop masih menjadi sesuatu yang dianggap aneh. Sehingga ketika menemukan teman yang memiliki selera yang sama, saya pun akhirnya merasa hari ini datang juga.

Mungkin karena perbedaan selera ini juga yang membuat kami dikucilkan di kelas. Dianggap tidak keren dan kekanak-kanakan, padahal kami memang masih di bawah umur.

Fast Fashion

Ilustrasi Fashion (Pexels/Edgars Kisuro)

Ada salah satu dosa yang dilarang untuk dilakukan oleh anak remaja, ‘memakai pakaian yang itu-itu saja’.

Sebagian orang yang berada di usia sekolah menengah seperti saya memang cenderung ingin selalu terlihat oke. Terlebih di usia ini, para remaja seperti kami sedang mengalami masa puber dan mulai tertarik dengan lawan jenis.

Gejolak yang mengalir di aliran darah kami ini membuat kami seolah berlomba untuk untuk terlihat paling trendy, paling keren, dan paling oke, dengan harapan bisa di-notice oleh si dia.

Gak heran kalau kelompok-kelompok pertemanan di kelas saya itu memiliki banyak sekali koleksi baju dan tetek bengek fashion lainnya.

Mereka seolah punya 365 outfit berbeda untuk digunakan dalam setahun. Keren sekali!

Semua barang yang sedang trend, mulai dari topi, baju, celana, sepatu, tas, gelang, kalung, cincin, dll., tak pernah absen untuk melengkapi penampilan mereka.

Terlebih kalau mau kencan, meski punya baju satu lemari pasti merasa seperti tidak punya baju. Pusing sekali memang.

Kabarnya, fenomena seperti ini biasa disebut sebagai fast fashion atau produksi pakaian dengan jangka waktu pemakaian yang singkat.

Meski terlihat cantik di luar hingga bisa menimbulkan rasa percaya diri bagi penggunanya, ternyata fast fashion adalah salah satu momok paling mengerikan di dunia.

Pasalnya, mau dikemanakan segunung pakaian yang sudah ketinggalan zaman itu? Penumpukan baju secara berlebihan ini tentu akan berdampak buruk bagi lingkungan.

Mengutip zerowaste.id, fast fashion biasanya menggunakan pewarna tekstil murah dan berbahaya sehingga bisa mencemari air bahkan berisiko pada kesehatan manusia.

Lalu polyester yang digunakan sebagai bahan baku merupakan zat yang berasal dari fosil. Sehingga ketika baju berbahan polyester ini dicuci, serat mikronya akan menambah jumlah sampah plastik.

Selain polyester, katun yang banyak digunakan sebagai bahan baku fast fashion biasanya dicampur dengan pestisida dan air dalam jumlah relatif banyak. Sehingga para pekerja di industri ini berisiko terkena masalah kesehatan.

Di sisi lain, pestisida berlebihan yang terkandung dalam bahan industri tekstil ini juga berbahaya bagi lingkungan. Makanya beberapa tahun terakhir banyak daerah yang mengalami kekeringan, tekanan besar di sumber air, penurunan kualitas tanah, dll.

Pantas saja sejak 5 tahun terakhir, saya merasa kesulitan ketika menanam tanaman di pekarangan rumah. Tanaman menjadi banyak yang kuning, busuk, bahkan mati. Padahal, dengan jenis tanaman dan metode menanam yang sama, dulu hal ini tidak pernah terjadi di Kota Mataram.

Selain itu, fast fashion juga berisiko menurunkan jumlah populasi hewan karena diambil kulit atau bagian tubuhnya untuk diolah menjadi barang fashion.

Sementara di sisi ekonomi, fast fashion jelas mendorong sifat boros dan merasa tidak puas sehingga ingin terus berbelanja.



Sehingga dari semua dampak yang ditimbulkannya, jelas bahwa fast fashion tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus diatasi dengan cara yang bijaksana.

Slow Fashion

Ilustrasi Green Fashion (Pexels/Ksenia Chernaya)

Sebelumnya, saya tidak pernah ambil pusing dengan trend dan fashion. Namun ketika memasuki masa remaja dan melihat hampir semua teman-teman di sekolah bergaya modis, saya pun mulai diserang rasa minder.

Sebagai kaum yang pas-pasan, saya tentu kesulitan untuk bisa berdandan seperti mereka. Awalnya, mungkin ini bukanlah suatu masalah. Namun ketika mereka mulai memilih teman berdasarkan penampilan dan fisik, saya mulai merasa tersisih.

Terlebih ketika salah satu di antara mereka terang-terangan mengeluarkan celetukan, “gak malu apa pakai baju itu-itu aja?”

Seperti yang sudah saya katakan tadi, pakai baju itu-itu saja adalah salah satu dosa yang harus dihindari remaja.

Di sekolah, kami memang memakai seragam. Namun setelah itu, mereka mulai menunjukkan siapa diri mereka melalui penampilan dan fisiknya.

Untungnya, sebelum menjadi bulan-bulanan yang semakin parah, saya menemukan Laruna Indonesia Fashion Forum melalui internet.

Melalui situs ini saya akhirnya sadar bahwa untuk menjadi modis dan keren itu tidak perlu mahal. Dengan menambah wawasan mengenai fashion, saya akhirnya tahu cara memadupadankan busana. Saya juga lebih melek tentang trend yang sebelumnya selalu dihindari karena merasa tidak bisa mengikuti arus.

Tak menunggu waktu lama, saya dan ketiga teman saya langsung mengikuti saran dalam artikel tersebut untuk mencari outfit dan aksesoris di thrift store.

Selain menambah koleksi terbaru melalui thrift store, kami juga memanfaatkan baju-baju lama kami dengan memadupadankannya dengan outfit yang lain sehingga terlihat lebih fresh.

Tak lupa pula dengan aksesoris. Biasanya saya sering mengabaikan benda yang satu ini. Namun ternyata, hanya karena kalung 10 ribu rupiah, saya bisa terlihat lebih keren dan mulai dilirik oleh teman-teman saya itu.

Kalau kata Cinta Laura, “cantik itu gak perlu mahal. Tapi kita harus tahu gimana caranya berdadan mahal walau pakai barang yang murah.”

Sejak saat itu, alih-alih membeli baju yang baru, saya memilih untuk bertukar atau meminjam baju. Kebetulan, meskipun baju saya tidak banyak, tapi semua baju di lemari saya berkualitas baik. Sehingga meski sudah sering dipakai tapi serat kain dan warnanya masih bagus.

Saudara saya pun senang karena bisa memakai baju yang kualitasnya masih bagus, pun dengan saya yang bisa pakai baju model baru tanpa harus membeli.

Gaya Lokal Indonesia

Dokumentasi Pribadi

Ketika sedang mencoba lebih terbuka pada fashion, saya akhirnya sadar bahwa selain tidak perlu mahal, untuk menjadi trendy kita hanya perlu percaya diri terhadap diri sendiri.

Termasuk percaya diri dengan gaya lokal Indonesia tanpa harus mengikuti arus kebarat-baratan atau kekorea-koreaan atau kejepang-jepangan. Pokoknya be yourself is enough!

Ketika sedang vacation bersama teman-teman sekelas sebelum Ramadhan, saya melihat motif songket khas Sasak yang cantik sekali di salah satu pusat pengrajin di Lombok Tengah.

Sebagai orang yang lahir dan besar di tanah Sasak, siapa lagi kalau bukan kita yang akan melestarikan dan memamerkan motif khas lokal seperti ini.

Kebetulan, saat itu saya sedang memakai tas slempang dengan motif tenun Sukarara. Melihat beragam model trendy dari sulapan motif lokal ini, membuat teman-teman saya yang sebelumnya sepertinya anti dengan hal-hal berbau tradisional dan lokal, kini mulai tertarik untuk membeli.

Karena saudara sepupu saya punya tas dan beberapa benda dengan motif khas Sasak ini, saya tidak perlu membeli melainkan hanya meminjam atau bertukar agar bisa memakai gaya lokal ini.

Gaya ini pun menjadi ciri khas saya dan saya bangga memakai motif lokal seperti ini. Sampai-sampai teman-teman saya menyebut gaya lokal ini dengan ‘gaya Elly’ karena banyaknya koleksi yang saya miliki.

Sejauh ini, saya memiliki kotak pensil, tote bag, tas slempang, outer, dan bucket hat dengan motif ini, tentunya dengan aneka warna.

Semuanya tetap trendy dan semuanya tetap melokal.

Akhir kata, jangan terburu terpuruk ketika dihadapkan pada suatu yang sulit. Namun cobalah melihat dari sudut pandang yang sebaliknya dan rubah situasi tidak nyaman itu menjadi kekuatanmu.

Sama seperti saya yang awalnya kesulitan untuk mengejar fast fashion, tetapi dengan melihat sisi lain, saya akhirnya bisa menciptakan trend sendiri di antara teman-teman sekelas melalui gaya lokal yang dipadu padankan secara benar.


Sumber Bacaan: Pengalaman pribadi
https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/mengenal-fast-fashion-dan-dampak-yang-ditimbulkan/
https://laruna.id/8-tips-agar-tetap-stylish-meski-budget-menipis-di-akhir-bulan/
https://laruna.id/slow-fashion-memiliki-keunggulan-dan-ramah-lingkungan/

Comments