Forever Young (1)

 

Forever Young
Forever Young (Pixabay/Pexels)

Drrtt…drttt…

Mom’s calling…

 

Aku menggeser tombol hijau di layar gawai yang menyala. “Ya, Ma?”

“Alika! Kau sibuk?” Suara mamaku terdengar ceria diujung sana.

“Baru saja pulang, Ma. Ada apa?” Aku mengambil kunci dalam tas untuk membuka pintu kontrakan.

“Koki mama kayanya sibuk terus ya? Mama ingin mengenalkanmu pada Rava, Alika.” Aku berprofesi sebagai salah satu chef professional di hotel bintang lima, wajar jika aku sibuk. Lalu, Rava? Siapa lagi kandidat mama kali ini? Aku menolak segala bentuk perjodohan yang mama tawarkan. Aku masih muda, cukup cantik dan memiliki karir yang tergolong cemerlang. Aku bisa mencari jodoh sendiri.

“Rava?” Aku akhirnya berhasil membuka pintu dan melangkah masuk. Mama belum juga menyerah untuk menjodohkanku dengan anak dari kenalannya.

“Anak dari Pak Santoso, teman mama dan papa jaman kuliah dulu. Rava itu anaknya baik, Al. Dia dosen, karir dia lumayan bagus, sering ngisi seminar-seminar di berbagai kota. Bahkan dia pernah penelitian hingga ke luar negeri!” Nada suara mama begitu antusias, sangat berbanding terbalik denganku.

Mama masih meracau tentang karir lelaki yang bernama Dimas itu. Seperti yang sudah-sudah, aku sama sekali tidak tertarik dengan perjodohan yang ditawarkan oleh keluarga maupun teman-teman. Masih dengan alasan yang sama, luka akibat masa lalu. Kejadian itu cukup mempengaruhiku secara psikis. Aku masih belum siap untuk menerima orang baru.

“Ma, Alika mau mandi dulu ya. Nanti kita sambung lagi ngobrolnya. Di sini gerah banget. Alika capek, mau istirahat, maaf ya, Ma.” Aku menggigit bibir bawah, berharap mama mau mengerti apa yang sedang kurasakan.

“Ya udah kalau gitu, kamu istirahat dulu ya, Nak.” Sambungan telepon kami pun terputus.

Aku menghempaskan tubuh ke atas ranjang, memejamkan mata sambil memeluk bantal. Ya Tuhan, aku lelah!

            Aku menikmati waktu yang bergulir tanpa melakukan apa pun. Tubuh dan hatiku butuh istirahat. Rasa kantuk perlahan menyusup dan menguasai, nyaris menghilangkan kesadaran. Namun, tiba-tiba kedua mataku terbuka saat merasakan hawa membeku di sekeliling. Aku benar-benar terjaga lalu mengambil posisi duduk. Kulihat jendela kamarku masih tertutup rapat. Pendingin ruangan juga belum kunyalakan. Dari mana asal angin dingin ini?

Tidak mau ambil pusing, aku pun berjalan ke kamar mandi. Seperti yang kukatakan pada mama tadi, aku butuh mandi untuk menghilangkan semua letih yang bersarang di tubuh. Letih fisik, pikiran maupun jiwa.

**

7:00 P.M

Aku sedang menikmati teh hangat di teras rumah saat ponsel genggamku berdering nyaring. Sebuah pesan singkat muncul di sana.

 

Si Rajin Dona: Alika, sedang apa? Keluar yuk! Aku tau kamu pasti lagi senggang.

Perasaanku tidak enak setelah membaca pesan dari Dona. Aku pun meneguk habis tehku kemudian membalas pesan rekan kerjaku itu.

Alika Geraldine V.: Mau kemana?

Si Rajin Dona: Caffepucino, aku mau ngenalin kamu sama Nicky. Anaknya ganteng banget, Al. aku yakin kamu pasti suka!

Aku mendengus setelah membaca sederetan kalimat yang tertera di aplikasi chat online itu. Kenapa semua orang bersikeras untuk menjodohkanku? Aku menarik rambutku akibat frustasi. Setelah mengembuskan napas kasar, kuraih gelas teh yang telah kandas, lalu melangkah ke dalam kontrakan. Udara malam ini mendadak menjadi terlalu dingin untukku.

Alika Geraldine V.: Maaf, tapi aku nggak bisa, Don. Mungkin lain kali.

Setelah membalas pesan Dona, aku pun menonaktifkan gawai dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Sambungan di otakku tidak berfungsi dengan baik jika harus membahas perihal perjodohan. Tidak butuh waktu lama, aku pun jatuh terlelap.

**

Kuikat rambut membentuk sebuah cepolan yang sedikit ke atas. Udara siang ini benar-benar panas. Aku berharap bisa segera menyelesaikan pekerjaan dan pulang ke rumah. Tersisa 3 jam lagi, chef Adrian akan menggantikanku dan ber-shift malam.

Aku pun kembali berkutat dengan spatula dan penggorengan. Menumis bawang hingga harum kemudian menambahkan berbagai rempah. Wangi dari bumbu yang telah matang membuatku yakin untuk menambahkan potongan fillet ayam ke dalamnya. Sebentar lagi masakan ini akan matang. Lalu aku beralih ke hidangan yang lain sambil menunggu daging ayam di atas penggorengan itu benar-benar empuk dan matang.

10 menit berselang, dua hidanganku telah siap untuk di hidangkan di piring saji. Sempurna! Aku menyukainya.

Baca Juga : Forever Young (2)

Udara siang ini yang benar-benar panas dan lembab membuat meningkatnya pesanan desert di jam-jam seperti ini. Aku pun beralih membuat desert dingin yang banyak dipesan pengunjung.

Dalam satu jam, bergelas-gelas caramel ice telah di antar ke meja pengunjung yang berbeda. Desert ini membutuhkan kehati-hatian dalam pembuatannya. Dibutuhkan skill khusus agar caramel yang menjadi primadona di atas gelas saji tidak gosong dan memiliki tingkat kekentalan yang pas.

Chef Alika! Sudah waktunya pulang!” Satu teriakan Susan tepat dengan selesainya caramel ice terakhir yang kubuat sore ini. Aku bisa melihat Chef Adrian melangkah ke dalam pantry. Seniorku itu telah lengkap dengan apron putih yang melekat di tubuh.

“Alika! Kerja bagus hari ini. Terima kasih!”

“Terima kasih juga, chef. Kalau bukan karena ilmu dari chef Adrian, saya tidak akan bisa seperti ini.”

“Beristirahatlah. Sampai jumpa besok.” Chef Adrian menepuk bahuku dua kali. Setelah mengucap pamit, aku pun melangkah meninggalkan pantry.

Aku menanggalkan apron di tubuh dan mengganti seragamku di ruang ganti. Lalu memakai kemeja biru dongker, warna favoritku. Kuambil tas dan mengunci loker ruang ganti karyawan. Di luar ruang ganti, pandanganku beralih ke langit sore yang begitu biru dan cerah. Gerombolan awan putih membentuk gumpalan abstrak yang indah di langit. Hatiku tergerak untuk mengunjungi suatu tempat yang kuyakini sangat cocok untuk menikmati sore ini.

Aku menjemput si putih, motor matic kesayanganku, di parkiran. Membawanya ke belakang restaurant. Setelah memarkir dan memastikan telah mengunci motorku secara benar, aku pun menjejak menuju bukit kecil di belakang restaurant. Tempat ini kerap menjadi favoritku untuk menghabiskan waktu.

            Langkahku terhenti di bawah pohon rindang dengan rumput-rumput kering di bawahnya. Aku menyandarkan tubuh pada batang kokoh pohon itu. Udara segar mengalir di sela-sela paru-paru. Angin sore mulai mengusik tatanan cepolan rambutku, membiarkan rambut-rambut halus menutupi kening dan pipi. Tempat ini benar-benar damai dan nyaman. Semburat di kanvas angkasa menjadi titik fokusku saat ini. Aku mengambil gawai dalam tas untuk mengabadikan moment ini.

            Namun, 1 buah notifikasi e-mail—yang tertangkap netra kala benda pipih itu menyala, mengundang rasa penasaranku.

           

From: geofanihj@gmail.com

            To: alikagv@gmail.com

           

Dear Alika,

            Aku senang kalau e-mail ini berhasil terkirim dan sampai di tanganmu. Sesuai nama dari akun ini, namaku Geovani. Aku mendapat alamat e-mail­-mu dari sosial media. Alika, bolehkan aku mengenalmu lebih jauh? Mungkin kita bisa berteman, kita memiliki hobi yang sama dibidang kuliner. Hanya saja… kau lebih beruntung karena telah menjadi seorang koki professional. Balas pesanku ya!

Geovani.

            Aku tertegun membaca surat elektronik dari lelaki yang mengaku bernama Geovani itu. Bagaimana sebuah kecanggihan teknologi mampu membuat orang dengan mudah untuk saling mengenal. Geovani… nama yang bagus. Namun, lagi-lagi aku belum tertarik untuk dekat dengan lelaki manapun.

            Aku pun mengembuskan napas lalu kembali ketujuan awal, memotret panorama indah di depanku. Beberapa gambar telah berhasil tertangkap kamera. Setelah puas dengan gambar-gambar yang bersarang di galeri ponsel, aku pun menekan tombol switch untuk mengaktifkan kamera depan ponsel genggam. Bayanganku muncul di layar kamera dengan rambut yang semakin berantakan akibat angin.

            Aku memutuskan untuk mengambil beberapa potret selfi sebelum akhirnya pulang. Aku menekan beberapa tombol hingga intensitas cahaya yang kuinginkan berhasil tertangkap kamera. Setelah puas, aku pun tersenyum ke arah kamera dan mengambil gambar. Sedetik kemudian, angin dingin yang kemarin sempat kurasakan kembali menyapa. Aku kerap kali menghabiskan waktu di tempat ini hingga matahari terbenam. Namun, belum pernah sekalipun merasakan udara yang sedingin es di tempat ini. Terlebih cuaca hari ini sangat panas dengan udara yang sangat lembab. Bulu kudukku meremang. Tubuhku menegang. Dengan kamera depan ponselku yang masih menyala, aku bisa merasakan saat ini aku tidak lagi sendiri. 


Comments