Forever Young (Pixabay/FelixMittermeier) |
Kulihat bayanganku di cermin, mulai dari rambut, alis, bibir, turun ke baju kerja, lalu ikat pinggang dan celana bahan, semuanya sudah rapi. Hari baru yang menyenangkan akan dimulai. Kuracuni alam bawah sadar dengan afirmasi positif. Setelah itu, kuambil tas, hendak meninggalkan kamar, siap untuk berangkat bekerja. Satu suara dari ponsel dalam tas memecah keheningan di pagi ini, beberapa pesan singkat.
"Alika Geraldine Valerie’s Birthday." Sebuah kalimat yang muncul di layar telepon genggamku yang menyala, membuat benda pipih itu berdering dan bergetar di saat yang bersamaan.
Selama aku bersiap tadi, ponselku telah dipenuhi beberapa notifikasi dari teman-temanku. Ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa baik tertangkap netra kala menggulir layar handphone dalam genggaman.
Azka: Alika! Selamat ulang
tahun. Jangan lupa makan-makannya. Semoga lekas bertemu jodoh!
Susan: Happy birthday Alikaku! Semoga lekas
menikah!
Si Rajin Dona: Happy birthday sahabatku. Semoga semua doa-doamu lekas terkabul!
Usiaku cukup matang tahun ini, 26 tahun. Pengingat yang baru saja berdering di setiap pengulangan tanggal itu—menunjukkan betapa seringnya aku lupa dengan sengaja pada hari ini. Larut dalam pekerjaan kerap kali kulakukan.
Tahun ini, seperti tahun yang sudah-sudah, statusku masih belum berubah, single. Ini bukanlah perkara yang serius. Namun, terkadang, perasaan ingin seperti wanita seusiaku yang lain, menyusup begitu saja tanpa bisa kucegah. Melepas status single, dan menimang anak.
Sebenarnya aku tidak perlu ambil pusing, jika saja orang-orang disekitar tidak terlalu bawel untuk menjodohkan sana-sini. Namun, setelah pesan singkat yang kukirimkan kemarin, aku berharap mama dan teman-teman berhenti untuk menjodohkanku dengan lelaki pilihan mereka.
Disaat seperti ini, aku bersyukur karena memiliki wajah yang awet muda. Tak sedikit rekan kerja yang mengira aku masih 18 tahun. Ada baiknya mereka tidak mengetahui fakta yang sebenarnya, untuk menghindari pertanyaan dan komentar yang tidak ingin kudengar.
Aku mengalihkan perhatian dengan menggelengkan kepala, menepis semua pemikiran buruk yang nyaris bercokol disana. Lalu mengambil tas dan kunci motor, bergegas untuk melaju ke tempat kerja. Aku tidak ingin terlambat.
***
"Al!" Panggilan dari Susan, membuatku menoleh. Kami baru saja sampai diparkiran tempat bekerja. Kini aku berjalan beriringan dengannya untuk masuk ke gedung yang memberikan kami pundi-pundi uang setiap bulannya.
"Hi!" Aku membalas sapaannya.
"Apa kau sudah siap dengan menu barumu? Dan by the way selamat ulang tahun, baby doll!" Kemarin, Pak Joko, memanggilku untuk membuat menu baru. Sebentar lagi musim liburan, tentu kunjungan menginap di hotel semakin meningkat. Begitu juga dengan pesanan makanan di restaurant kami. Pak Joko ingin membuat sebuah terobosan baru dan dari tahun ke tahun, aku selalu menjadi orang yang dapat dipercaya. Hal ini tentu membanggakan. Setelah menapaki karir selama 5 tahun disini, aku tidak pernah mengecewakan dan selalu bisa diandalkan.
"Aku tidak yakin, mungkin butuh beberapa kali lagi untuk mencoba. Aku tidak ingin mengecewakan Pak Joko, dan terima kasih atas ucapannya," ucapku jujur pada Susan.
"Lakukan yang terbaik, Al! Aku tidak sabar untuk mencicipinya," ujarnya sambil terkekeh.
"I'll try my best." Kami pun berpisah untuk menjalankan tugas kami masing-masing, tidak ingin ditegur Pak Joko karena terlalu banyak mengobrol.
11:00 A.M
Saat ini adalah hari Kamis, akan tetapi pengunjung restaurant kami benar-benar seramai saat weekend. Kami semua sedikit kewalahan dengan pesanan yang seakan tak kunjung henti. Badanku terasa seperti habis berolahraga lari, sangat kelelahan, ditambah dengan ritme napas yang tidak beraturan dan sesak di dada.
Tidak biasanya tubuhku selelah ini meskipun restaurant sedang ramai sekalipun. Apalagi saat ini belum genap jam 12. Masih ada 5 jam lagi sebelum waktu pulang dan selanjutnya digantikan oleh Chef Adrian.
Aku berusaha menepis rasa lelah dengan menghirup oksien sebanyak-banyaknya kemudian meneguk segelas air. Namun nihil, keadaan justru bertambah buruk karena dadaku kini semakin terasa sesak. Aku merasa kehilangan oksigenku selama beberapa detik. Rasa sesak ini semakin membunuhku, terasa begitu mencekik.
Baca Juga: Forever Young (2)
"Al, kamu kenapa? Wajahmu pucet banget, kamu sakit?" Dona, helper yang biasanya membantuku terlihat khawatir.
"Aku cuma capek." Aku berkilah.
"Kenapa, Don?" Kali ini Azka ikut bertanya.
"Aku sih ngak papa, cuma Alika kok pucet banget." Dona menerangkan kekhawatirannya.
"Kalian bisa bantuin aku selesaiin masakan ini?" Aku sudah tidak kuat lagi. Aku butuh oksigenku sekarang!
"Iya Al. kamu bisa istirahat," ujar Azka mengambil alih spatulaku.
"Quarter hour. Just it," ucapku sambil berlalu meninggalkan kitchen.
"Beristirahatlah sampai kau merasa baik, Al." Azka meneriakiku dari dalam dapur.
Setelah melepas apron, aku memutuskan untuk ke apotek, membeli obat untuk meredakan sesak di dada. Kutatap langit-langit di depan pantry, berusaha mengambil pasokan oksigen sebanyak-banyaknya. Tidak ada perubahan yang berarti, semakin lama tubuhku semakin lemah.
Tanganku memegang apa saja yang bisa kuraih untuk menopang tubuh. Aku pun duduk di anak tangga paling bawah. Memejamkan kedua mata. Berharap semua ini akan segera berlalu. Setelah 10 menit, aku merasa lebih baik. Setidaknya, aku lebih bisa mengontrol kondisi tubuh saat ini. Aku pun berjalan perlahan menuju—dimana motor matic-ku terparkir. Saat hampir sampai, kurang 5 langkah lagi dari si putih, tiba-tiba aku menabrak sebuah dinding, jidatku berdenyut cukup hebat.
"Auw!" Aku memekik kesakitan. Apa ini? Dari jarak 10 meter aku sudah bisa melihat dimana si putih terparkir dan tidak melihat ada dinding apa pun di parkiran restaurant ini.
Apa karena dadaku sesak, aku sedang berhalusinasi?
Aku pun mencoba meraih setang motor dari arah lain, mencoba menghindari dinding tak kasat mata itu. Alih-alih memegang setang motor, aku malah menyentuh sesuatu seperti tangan manusia. "Hanya aku manusia diparkiran ini. Dan lagi, ini masih jam 11 siang. Mana ada hantu muncul disaat matahari lagi panas-panasnya."
Segera kulepaskan cekalanku dari tangan manusia tak kasat mata itu. Aku masih belum putus asa. Aku mencoba memegang bagian belakang motor, dan dengan secepat kilat menyalakan stater dan gasss...
Namun itu semua sepertinya hanya ada dalam imajinasi. Dinding tak kasat mata itu sekarang sudah tidak ada. Namun lagi-lagi aku menyentuh tangan seorang manusia.
Bulu kudukku meremang.
Aku sama sekali bukan anak ajaib, indigo ataupun memiliki indra keenam. Kenapa tumben-tumbenan ada kejadian aneh seperti ini?
"Alika." Bulu kuduk semakin meremang saat ada suara lelaki yang memanggil namaku. Mungkin hal ini tidak terjadi jika yang memanggil adalah rekan kerja atau bosku, bukan sosok misterius tak kasat mata.
Aku memejamkan mataku erat. Berharap segala halusinasi ini segera berakhir. Aku mencubit lengan, kulit masih merasakan sensasi nyeri. "Jangan berkhayal bahkan disaat tubuhmu tidak bisa bernapas secara benar," ujarku pada diri sendiri.
"Alika." Sepertinya ini sama sekali bukan khayalan karena sosok itu kembali memanggil namaku.
"Ayo ikut aku, Alika. Ini sudah waktunya. Kita hampir saja terlambat." Saat aku membuka kedua mataku, aku sudah tidak berada di parkiran restaurant lagi. Aku merasakan sensasi dingin menjalar di seluruh pori-pori pergelangan tangan. Sosok tak kasat mata itu tengah menggandeng dan membawaku ke negeri antah berantah. Semua ketakutan mencuat hingga ke ubun-ubun dan sebuah teriakan adalah akibat yang ditimbulkannya.
"Lepaskan! Kamu siapa? Kita mau kemana? Aku sedang bekerja, nggak bisa gitu aja bolos tanpa izin disaat restaurant sedang ramai kaya gini! Hei lepaskan!" Aku berusaha berteriak dan meronta sesemaksimal yang aku bisa. Namun kondisiku yang sedang tidak fit membuatku kehilangan seluruh tenaga dan semuanya tiba-tiba gelap.
***
Comments
Post a Comment