Forever Young (5)

Forever Young
Forever Young/Pixabay

         

Hari ulang tahun adalah hari yang istimewa, hal lumrah bagi sebagian besar orang. Namun tidak bagiku. Aku tidak mengerti mengapa sebagian besar orang begitu menganggap hari lahir sebagai sesuatu yang spesial, di saat aku benar-benar ingin melupakannya. Selain karena di hari ini, umur selalu berkurang, ada hal buruk yang terjadi di hari lahirku ini. Ketakutan dan trauma itu masih menghantui. Menenggelamkan diri dalam rutinitas pekerjaan kerap kulakukan sebagai pengalihan.

Dan di hari ulang tahun pula, tahun ini aku bertemu dengan Kian. Lelaki itu mengaku sebagai malaikat penjagaku dan perjalanan kami ke Rainbow Castle. Dua hal yang membuat logikaku berdentam hebat. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Kakek Anthoni tidak pernah bercerita apa pun mengenai manusia terpilih, malaikat penjaga, forever young, atau apa pun yang telah dijelaskan Kian barusan. Aku bingung.

Takut, cemas, dan penolakan, adalah hal yang kulakukan saat mengetahui perubahan dalam hidupku. Namun, seperti yang Kian katakan tadi, “Seiring berjalannya waktu, aku juga akan paham dengan sendirinya.” Aku masih tidak tahu harus menerima atau menolak. Semuanya serba tiba-tiba dan begitu cepat.

Membicarakan Kian, pertemuanku dengannya tidak merubah apa pun jika itu mengenai pekerjaan. Restaurant tetap seramai sebelum kutinggalkan tadi. Disaat-saat genting seperti jam makan siang, aku berterima kasih karena Pak Joko memberi tim yang sangat professional dan bisa diandalkan.

Kami bekerja secepat dan sesempurna mungkin. Menghidangkan hidangan-hidangan terbaik sesuai pesanan. Dan juga mereka sama sekali tidak mempermasalahkan kecerewetanku mengenai bagaimana makanan itu harus terhidang di piring. Mulai dari kebersihan, tingkat kematangan, rasa, plating hingga seasoning. Mereka tim terbaik yang aku punya.

Aku beruntung untuk hal ini.

Disaat banyak orang mempermasalahkan bagaimana kejamnya dunia kerja, aku justru merasa sebaliknya. Beruntung memiliki teman-teman dan bos besar yang baik. Ditambah pula dengan gaji sepadan dengan kerja kerasku. Kebanyakan para bos besar memperkerjakan para manusia layaknya budak dengan gaji yang tak pantas.

Hari istimewa yang melelahkan telah usai. Aku pun segera melepas apron dan seragam yang menempel pada tubuh, meregangkan otot-otot yang terasa kaku lalu bergegas menuju parkiran. Kemudian mengenakan helm dan segera melaju. Menggunakan motor tentu lebih praktis daripada mobil, kan? Itulah sebabnya aku sangat suka membawa si putih kemana pun.

Setelah berkendara selama 20 menit, aku memarkir motor di sebuah tempat yang sangat sepi. Jam berapa pun, tempat ini akan selalu sesepi ini. Aku melangkahkan kaki menuju sebuah pusara yang sudah lama tidak kukunjungi. Langkahku terhenti pada sebuah batu nisan bertuliskan “Anthoni Valerie”.

Aku berjongkok untuk mensejajarkan posisi dengan nisan usang itu. “Kek? Semoga kakek disana baik-baik aja ya. Hari ini cucumu ulang tahun ke 26, kakek nggak mau ngasih ucapan selamat ulang tahun?” tanyaku sambil terkekeh, menyelipkan nada humor dalam ucapanku.

Baca Juga: Forever Young (4)

“Seperti yang kakek tau, aku bercita-cita untuk menjadi chef yang hebat. Dan sekarang semuanya sudah terwujud. Seandainya kakek bisa liat dimana cucumu ini bekerja dan nyobain masakanku, pasti kakek ikut bangga. Untuk kakek gratis, deh. Best of best of me.

“Mungkin cucumu belajar dan bekerja terlalu keras, terlalu perfectsionist sepertimu. Disaat teman seusiaku sudah menimang anak, tapi aku masih sendiri aja kek. Harusnya aku kesini nggak sendirian ya kek, tapi bawa cicit kakek.

“Namun, tidak masalah, kek. Aku nggak sedih kok. Cuma risih aja dijodohin sana sini. Aku bisa kok, kek, cari jodoh sendiri, kakek percaya, kan? Ternyata nggak cuma sifat kakek yang nurun ke cucumu ini, aku juga bisa mengeliat malaikat. Tadi siang ada orang yang ngaku malaikat, kek. Kenapa bukan jodoh yang duluan nyamperin, malah—“

“Alika!” Suara itu menghentikan obrolanku. Bukan obrolan dalam arti yang sesungguhnya, karena aku hanya berbicara sendiri di pinggir pusara kakek. Belum selesai menceritakan isi hatiku pada orang tersayang, hawa sedingin es itu kembali menyapa.

 

Kian! Is that you?

Comments