Nyalanesia dan Coretan di Dinding Sekolah

Ilustrasi Coretan Dinding (Unsplash/Domingo Alvarez E) 

Bagi sebagian orang, mencoret-coret dinding mungkin merupakan hal biasa untuk dilakukan. Beberapa orang ini seperti tidak memiliki rasa bersalah ketika tembok bersih itu tiba-tiba berubah menjadi sedikit kotor karena ada goresan tinta, krayon, atau pensil. Entah dalam bentuk tulisan atau gambar, baik dalam hal positif maupun negatif. 

Tembok di sekolahku pun tak luput dari aksi iseng orang-orang ini. Beberapa sisi tampak tercoret-coret oleh kumpulan kalimat, yang entah apa, karena aku juga tidak pernah memperhatikannya. Yang jelas, ini menganggu dan kotor. Apalagi di dekat toilet siswa dan parkiran. Di tempat ini coretannya seperti lebih banyak dibanding lokasi lain di sekolah. 

Waktu itu, karena sedang kebelet, aku pun buru-buru menuju toilet siswa. Sialnya, semua bilik di sini full dan aku harus terpaksa antri. Merasa tidak bisa menunggu lama, aku pun berlari ke toilet siswa yang berada di dekat kantin. Namun, lagi-lagi, di sini juga full dan aku harus menunggu. Mungkin para siswa sedang berganti pakaian untuk jam olahraga. 

Sambil menunggu, aku pun melihat-lihat sekelilingku. Ternyata, tidak hanya toilet di dekat tangga saja yang kotor karena coret-coret, tapi di sini juga. Sambil menunggu, aku pun iseng membaca tulisan yang ditulis menggunakan pulpen bertinta biru itu. 

"Dunia selalu berhasil mengantar kita pada sebuah kejutan. Kamu siap tidak siap, dunia tidak pernah peduli".

Sebenarnya masih ada beberapa baris kalimat lagi yang tertulis di situ, tapi karena pintu salah satu bilik akhirnya terbuka dan aku sedang terburu-buru, aku kemudian melupakan tulisan itu dan bergegas menyelesaikan hajat.

Ilustrasi Coretan Dinding (Pexels/Lucut Razvan)
Di jam istirahat, aku masih terus memikirkan kutipan yang aku baca di coretan dinding kamar mandi siswa itu. Menurutku, kutipannya sangat bagus dan menyentuh. Siapa pun yang menulisnya, sepertinya ia berbakat untuk menjadi penulis. 

Karena merasa penasaran, saat selesai membeli snack di kantin, aku pun mulai memperhatikan tulisan-tulisan yang sengaja ditulis di tembok-tembok sekolah. Ternyata, tidak semua coretan ini berupa sumpah serapah, tapi ada juga tulisan yang sangat bagus kalau dijadikan caption Instagram. Namun, sayang, mengapa harus dituang dengan cara yang salah? Andai mereka menyadari bahwa tindakannya kurang baik, mereka pasti enggan untuk melakukannya. 

Pertama, karena mencoret dinding itu kotor, lalu kedua karena untuk mengembalikan tembok agar bersih seperti sedia kala tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Aku jadi berpikir, andai ada wadah untuk memfasilitasi para siswa untuk menyalurkan tulisannya, tentu mereka tidak perlu lagi mencorat-coret tembok sekolah. Selain itu, mereka juga bisa lebih berekspresi karena difasilitasi dengan baik.

Nyalanesia untuk Literasi Sekolah

Di zaman serba digital ini sebenarnya banyak platform yang bisa memfasilitasi karya-karya siswa. Mulai dari tulisan, gambar, hingga video. Aku pernah mencoba memberi saran pada salah satu temen sekelasku yang kebetulan kepergok saat sedang menggambar di tembok parkiran, untuk menyalurkan hobinya ke arah yang lebih positif. Melalui platform-platform digital, misalnya. 

Namun ia malah tak menggubris dan langsung pergi begitu saja. Aku pun hanya bisa mengelus dada. Kalau begini terus, lama-lama bisa dipastikan seluruh sekolah akan kotor oleh coretan tulisan dan gambar.

Keesokan harinya, temanku itu masih memandangku sinis akibat teguranku kemarin. Hatiku meringis, tapi aku mencoba cuek dan tak ambil pusing. Kebetulan, guru Bahasa Indonesia kami selalu datang tepat waktu. Sehingga membantuku untuk cepat mengalihkan perhatian. Pelajaran ini memang menjadi pelajaran favoritku sejak kelas X karena hampir semua guru Bahasa Indonesia di sekolahku asik dalam menyampaikan materi. Sampai-sampai, kami sering tidak sadar kalau waktu belajarnya sudah habis dan harus berganti dengan mata pelajaran yang lain. Seseru itu.

Sesuai dengan amanat kepala sekolah saat upacara kemarin, di perayaan ulang tahun sekolah kali ini, sekolah kami tidak mengadakan pensi (pentas seni). Hal ini diumumkan lebih awal agar para siswa di berbagai ekstrakurikuler tidak sibuk dan memikirkan acara ini. 

Aku menjadi bertanya-tanya, mengapa hal rutin tahunan yang tidak pernah absen ini tiba-tiba ditiadakan.

Namun, Bu Indah selaku guru Bahasa Indonesiaku akhirnya menjawab rasa penasaranku karena ternyata ada agenda lain yang akan digelar di HUT (Hari Ulang Tahun) sekolah tahun ini.

"Setelah menimbang dengan matang dan diskusi dengan semua guru, kami memutuskan untuk mengadakan program literasi sekolah. Ini tidak wajib, tapi semoga semua siswa bisa berpartisipasi. Semua karya kalian nanti akan dibukukan, jadi kalian bisa peluk karya yang sudah kalian buat. Buat yang suka nulis bisa  mulai nyicil dari sekarang untuk cerpen, puisi, surat, dan opininya. Tapi, kalau yang gak suka nulis, kalian bisa bantu teman-teman kalian bikin ilustrasi untuk tulisannya."

Menurut Bu Indah, kalau ada minimal 50 siswa yang berminat, maka pihak sekolah akan meminta Nyalanesia untuk membantu kami mewujudkannya. Ketika mendengar kata Nyalanesia, aku sedikit bingung. Istilah ini asing bagiku. 

Namun, sesaat kemudian aku merasa malu karena baru mengetahui nama besar mereka saat ini.

Ternyata, Nyalanesia adalah program literasi nasional yang gaungnya telah membahana selama 7 tahun. Ada lebih dari 350.000 pendidik, penggerak literasi, dan mitra strategis, yang telah difasilitasi oleh Nyalanesia. Selain itu, lebih dari 3.000 siswa di 35 provinsi tanah air juga ikut berpartisipasi untuk menjadi salah satu dari lebih dari 5.000 judul buku yang telah diterbitkan. Tidak hanya itu, Nyalanesia juga memfasilitasi lebih dari 300.000 pelatihan literasi dan kompetensi bagi para pesertanya.

Yang bikin aku makin melongo, saat Bu Indah mengatakan bahwa Lenang Manggala selaku founder Nyalanesia telah menyalurkan 3,2 miliar total hadiah dan dana pemberdayaan. Pencapaian besar ini membuat Nyalanesia sukses meraih 6 Rekor MURI di bidang literasi dan pendidikan.

Potret Lenang Manggala (nyalanesia.id)

Tanpa pikir panjang, aku dan beberapa teman-teman sekelasku pun langsung tertarik dan mendaftakan diri untuk ikut Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional (GSMB Nasional). Program ini adalah pengembangan literasi sekolah terpadu, yang memfasilitasi seluruh siswa dan guru mulai SD/MI, SMP/MTs hingga SMA/MA/SMK untuk berkarya dan menerbitkan buku, mendapatkan pelatihan dan sertifikasi kompetensi, pendampingan pengembangan program literasi, serta kompetisi berliterasi paling bergengsi di tingkat nasional dengan total hadiah ratusan juta rupiah. 

Mumpung uang pendaftarannya dibayarin sekolah, aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Kapan lagi bisa ikut punya buku hanya dengan 75.000 aja tapi fasilitasnya sudah selengkap ini. Berhadiah lagi! 

Dampak Nyalanesia untuk Literasi dan Sekolahku

Sebenarnya, aku kurang setuju kalau ada yang bilang bahwa minat literasi di Indonesia itu rendah. Buktinya saja, Nyalanesia sudah berhasil memfasilitasi program literasi yang sedemikian masiv di tingkat nasional. Dalam lingkup yang lebih kecil, aku, teman-teman, dan para guru juga sangat menyambut antusias GSMB ini. 

Terlebih setelah mengikuti GSMB, coretan di tembok sekolah sudah mulai berkurang bahkan hilang. 

Dari mana aku tahu? 

Karena dalam rangka merayakan ulang tahun sekolah, selain mengadakan GSMB, kami juga bergotong royong untuk mengecat tembok sekolah. Sehingga dinding di lingkungan sekolah kembali bersih tanpa coretan dan gambar apa pun. Beberapa hari, bahkan hingga beberapa bulan setelah program ini berakhir, aku sudah tidak pernah lagi melihat coretan di dinding sekolah. 

Semua siswa seakan sudah sadar dan tahu bagaimana cara menuangkan imajinasi, dan ekspresinya, yaitu dengan menulis buku bersama Nyalanesia. Sehingga aku tidak perlu lagi melihat sumpah serapah hingga puisi galau di tempat belajar kami ini. 

Buku fisik yang kami genggam juga bisa menjadi bukti bahwa kami memiliki karya di masa muda. Kelak, ini akan menjadi kenang-kenangan manis untuk kami di masa depan. Imajimasi, pengalaman, dam emosi yang terikat kuat dalam rangkaiam kata di buku ini akan abadi bersama Nyalanesia. 

Comments