Ruang Sidang

Ilustraai ruang kelas (Pixabay/Nikolayg)


Demi Tuhan, mengganti judul tesis itu mengerikan! Ini adalah kali ke ... ah, aku bahkan tak lagi mengingat sudah berapa kali Pak Heri—dosen pembimbingku—memanggilku untuk diskusi dalam perubahan materi penelitian.

Aku menghela napas lelah sambil berjalan gontai, sama sekali merasa tidak nyaman. Walaupun ruang dosen organik ini ber-AC, menyegarkan tubuhku yang mudah sekali berkeringat, tapi jika keadaannya sudah begini aku tetap merasa gerah. Semangatku terjun bebas ke level paling rendah.

Mau tidak mau, aku harus kembali berhadapan dengan sederet botol-botol kimia di laboratorium. Namun, masalah terbesar dari semua ini bukan botol-botol kimia itu, melainkan waktuku yang hanya tersisa dua bulan. Sempitnya waktu yang kumiliki tidak sebanding dengan banyaknya pekerjaan yang harus kuselesaikan. Itu pun belum termasuk penyusunan naskah dan jadwal konsultasi dengan kedua pembimbing.

Aku melirik sekilas ruangan berpintu cokelat di sebelah kananku. Terdapat tulisan ‘Laboratorium Kimia Organik dan Biokimia’ di atas pintu. 

Haruskah aku menginap di laboratorium untuk menyelesaikan penelitian yang tenggat waktunya semakin dekat?

Merasa tidak memiliki pilihan lain, kakiku pun mulai menuruni tangga. Melangkah menuju ruang kemahasiswaan untuk mengurus surat lembur penelitian. Aku harus bergerak cepat dan segera kembali ke lantai dua untuk meminta tanda tangan Pak Heri, sebelum pria lima puluh tahun itu kabur.

Meski sekarang masih pukul setengah dua siang, dosen pembimbingku itu kerap meninggalkan fakultas untuk menyelesaikan urusannya di gedung penelitian terpadu atau mengajar hingga hampir magrib. Aku tidak mau menunggu selama itu.

Sekembalinya aku ke lantai dua, tepatnya di ruang dosen, aku tidak melihat Pak Heri di mana pun. Sial, dugaanku benar. Dosenku itu sangat mahir untuk kabur jika sedang dibutuhkan seperti ini.

“Vi, kamu lihat Pak Heri?” tanyaku pada Yuvina, salah seorang temanku yang dari tadi duduk di depan ruang dosen organik.

“Pak Heri lagi ngajar. Kelas terakhir hari ini.” Yuvina menunjuk ruang sidang yang terletak di dekat ruang dosen dengan dagunya.

Aku pun menghela napas kecewa. Meski sudah buru-buru, nyatanya aku masih kalah cepat. Pak Heri telah kembali mengajar. Aku pun mengambil tempat di sisi gadis itu.

Setidaknya, Pak Heri belum pulang, aku mencoba menghibur diri.

“Mau minta tanda tangan, Fresh?” tanya Yuvina saat melihat kertas yang kubawa.

Aku pun mengangguk. “Aku ganti judul lagi dan—”

“What?! Freshy Agatha ganti judul lagi?” Yuvina tampak terkejut. Aku tidak menanggapi keterkejutan gadis itu dan memilih menekuri keramik di bawah sepatu ketsku.

“Kita sudah nggak punya waktu buat nge-lab. Dua bulan hanya untuk nulis naskah aja kayaknya kurang,” sambungnya. Aku membenarkan ucapan gadis itu.

Setelah itu, aku mengambil ponsel pintar dan menyambungkannya dengan saluran wi-fi.

Baru hendak berselancar di jejaring sosial, Yuvina kembali mengajakku bicara.

“Kenapa ganti judul lagi, Fresh? Bukannya yang kemarin sudah hampir rampung?” tanyanya.

Dari gelagatnya yang santai, aku bisa menebak sepertinya gadis itu punya banyak waktu untuk mendengar ceritaku. Melupakan ponsel yang terhubung dengan jaringan wi-fi, tanpa diperintah, aku pun mencurahkan isi hatiku pada gadis kurus itu.

Yuvina mendengarkan dengan patuh. Sesekali, manik kelamnya menatap iba. Namun yerkadang, ia juga merasa kesal dengan dosen pembimbingku yang seolah menganaktirikanku. Berbanding terbalik dengan teman-teman satu bimbingan yang lain.

Pasalnya, teman-temanku yang lain mendapat perhatian lebih dengan dibantu dalam pengerjaan jurnal terindeks scopus—salah satu syarat kelulusan selain tesis. Sementara aku, jangankan jurnal, nasib tugas akhirku saja masih abu-abu. Aku mendesah frustasi, lalu merenggangkan otot dan mulai berdiri.

Aku bosan jika harus berdiam diri lebih lama lagi. Sekarang giliran gadis itu yang mulai bicara, menanggapi novel kehidupanku. Telingaku setia mencerna setiap kosakata gadis itu, tetapi tidak dengan kakiku—yang tidak bisa diam dengan mondar-mandir di depan Yuvina.

Satu jam telah berlalu begitu saja. Yuvina benar-benar sukarela menemaniku menunggu

Pak Heri hingga selesai mengajar. Jika dihitung-hitung, pria tambun itu akan selesai mengajar dalam tiga puluh menit lagi. Aku mencoba bersabar sedikit lagi.

“Aku mau ke situ sebentar,” pamitku pada Yuvina sambil menunjuk ruang sidang.

Ketika aku menjauh dari bangku panjang di depan ruang dosen, Yuvina mengekoriku.

Dari jarak kurang dari satu meter di depan ruang sidang, kami bisa mendengar suara Pak Heri dan para mahasiswanya. Kami pun bertukar tatap seolah mengatakan, berisik banget, ya.

-to be continued

Comments

  1. Seru banget, ya, kehidupan mahasiswa.
    Berburu tanda tangan dosen pembimbing, naik turun adrenalin karena diskusi ilmiah, dan penelitian yang luar biasa bejubel. Seru!

    ReplyDelete
  2. Aku ikut merasakan adrenalin yang berpacu kencang, mungkin sama seperti dulu saat sidang skripsi.
    Semoga lancar tesisnya, Freshy!

    ReplyDelete
  3. Sekalipun dianaktirikan oleh dosen pembimbing, mudah-mudahan sidang Freshy berjalan lancar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin ini cobaan Freshy sebelum sangat sukses dimasa depan Bun

      Delete
  4. Membayangkan tesis Freshy rasanya bikin deg-degan. Berasa ikutan pusing sama tingkah dosbim yang tak bisa mendengar curahatan hati mahasiswa yang sedang dikejar-kejar deadline wisuda. Tetap semangat Freshy

    ReplyDelete
  5. Dunia perkuliahan memang sangat berkaitan dengan Dosen-dosen.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener kk, kalau berkaikan sama guru2 namanya sekolah wkwk

      Delete
  6. Waduh jadi inget masa-masa antri ke dosbim sampai pake nomer antrian

    ReplyDelete

Post a Comment