Seoul (2)

Pixabay/nhuhang9261
Perjalanan ke Seoul ternyata tidak semenakutkan yang aku kira. Malah penerbangan sekitar 7 jam justru membuatku ketagihan. Tidak ada mabuk udara, tidak ada drama selama perjalanan, dan semuanya benar-benar berjalan mulus.

Ini adalah perjalanan ke luar negeri pertamaku, bersama suamiku, dan untuk mengunjungi tempat tinggal idolaku. Ini benar-benar sempurna!

Setelah sampai di bandara Incheon, aku merasa kakiku sedikit lemas. Ternyata meski tidak merasa takut, aku tetap merasa lelah.

“Capek, ya?” tanya Adrian yang tampak peka karena melihatku berjalan lebih pelan dibanding biasanya.

Aku pun mengangguk dengan lesu.

“Yaudah kamu duduk dulu aja di situ, kopernya biar aku yang ambil,” ujarnya sambil mengusap puncak kepalaku.

Aku berusaha tersenyum sambil berterima kasih. Kami pun berjalan menjauh. Adrian menuju tempat pengambilan barang, sementara aku menuju kursi tunggu.

Semua ini seperti mimpi. Seorang trainer yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan laptop bisa menikah dengan orang seperti Adrian.

Laki-laki pekerja keras yang sangat baik dan perhatian. Dia seperti punya indra keenam untuk membaca semua keinginanku, kemudian mewujudkannya satu per satu.

Membayangkan semua ini saja tidak. Aku sangat jarang berinteraksi dengan siapa pun. Namun ketika takdir sudah menentukan, tidak ada yang tidak mungkin ‘kan?

“Ngelamunin apa?” tanyanya.

“Eh, ng-nggak. Aku masih nggak nyangka aja. Semuanya masih kayak mimpi,” jawabku sambil mensejajarkan Langkah dengannya. Sekarang kami menuju pintu keluar untuk mencari taxi.

“Kamu senang?” tanyanya memastikan.

“Pasti!” jawabku tanpa pikir panjang.

Senyumnya pun merekah seketika. Aku pun ikut tersenyum. Adrian memang selalu menjadikan kebahagiaanku sebagai prioritasnya.

***

Poster raksasa yang memuat foto Onew, Key, Minho, dan Taemin, sudah dipasang di sepanjang jalan menuju venue. Atmosfir konser sudah terasa meski pertunjukan belum dimulai. Banyak penggemar sudah tampak berdatangan.

Kalau dilihat dari penampilannya, mereka tidak hanya berasal dari Korea, tetapi juga dari mancanegara sepertiku. Berbagai perlengkapan konser mulai dari lightstick, kipas, tas, gantungan kunci, hingga kostum bertemakan konser sudah terlihat dimana-mana. Aku selalu suka melihat antusiasme mereka.

“Kalau mau nonton konser harus datangnya sepagi ini ya? Acaranya ‘kan malam,” keluh Adrian yang sepertinya mau berjalan-jalan dibanding duduk di sekitar venue.

“Iya, fans emang gercep banget,” jawabku.

“Kalau datangnya nanti emangnya kenapa? ‘Kan masing-masing sudah punya tiket.”

“Yaa … gak apa-apa sih. Tapi karena kita antusias banget biasanya kita nungguin artisnya dateng. Artisnya ‘kan juga datang lebih awal. Biasanya mereka latihan dulu,” jelasku dan Adrian manggut-manggut.

“Itu orang-orang harus banget ya bawa lampu toska gitu,” tanya lagi sambil menunjuk lightstick dengan dagunya.

“Itu namanya lightstick. Gak wajib sih tapi ini biasanya buat nunjukin dukungan ke artisnya. Karena kalau ada artis yang konser terus di tribun penontonnya gelap itu konotasinya negatif. Kayak mereka gak di support atau kurang disukai.” Adrian kembali manggut-manggut.

Aku pun mengarahkan pandang ke barisan Shawol yang berdiri di depan venue. Pemandangan langka ini harus diabadikan. Aku pun mengambil ponsel dan memotret sekitar.

“Foto yuk!” aku pun menggandeng lengan Adrian yang mengajaknya berfoto dengan latar venue dan Shawol.

Akhirnya aku bisa melihat suamiku tersenyum karena berhadapan dengan kamera.

“Kita jalan-jalan dulu yuk. Masih sekitar 5-6 jam lagi ‘kan? Sekalian kuliner dan liat-liat ada tempat sholat gak,” saranku.

Mendengar hal ini, Adrian merekahkan senyumnya semakin lebar. Dia sudah sangat peka dan mengerti tentangku, aku juga harus peka dan mengerti tentang keinginannya ‘kan?

“Ayo!” ajaknya sambil menggenggam tanganku.

Udara Seoul bulan Juli benar-benar menyenangkan. Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia sehingga kami tidak perlu bersusah payah menyesuaikan diri.

Namun bedanya, di sini ada banyak orang yang berjalan kaki. Sehingga kami tidak merasa sendirian karena hampir semua orang seolah berjalan kaki di trotoar yang kali lalui.

“Di sini orang-orang kalau jalan cepet banget ya,” ucap Adrian takjub. Kami memang sudah tahu, tapi melihatnya langsung tentu terasa berbeda.

“Iya. Gak cepet nanti ketinggalan sama temennya.”

Setelah berjalan sepuluh menit, kami pun sampai di kedai ramen. Makan di sini sepertinya halal. Lagipula, aku suka mie.

“Makan di sini nggak apa-apa ya?” tanya Adrian.

“Aku suka, kok.”

Adrian pun mengajakku masuk. Namun ketika ia meraba tasnya, ia merasa seperti ada yang janggal.

Kami pun duduk di salah satu kursi yang kosong, sementara Adrian memeriksa tasnya.

“Tasku kok kayak kosong ya. Baru nyadar lagi,” keluhnya.

“Ada yang hilang?” Aku mendadak sedikit panik.

Adrian tidak menjawab dan memilih menggeledah tasnya.

“Al, kayaknya dompet aku ketinggalan deh.”


Comments